(oleh: Moh. Tauhid)
Setiap tahun, umat Islam diberi kesempatan langka untuk memastikan arah kiblat secara akurat melalui fenomena alam yang disebut Istiwa A‘zam atau Rashdul Kiblat. Pada 15 dan 16 Juli 2025, matahari akan berada tepat di atas Ka’bah, menjadikannya momen ideal untuk mengecek arah kiblat di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Fenomena ini terjadi dua kali dalam setahun, yakni sekitar 27–28 Mei dan 15–16 Juli. Pada saat itu, bayangan benda tegak lurus akan menunjuk ke arah yang berlawanan dari Ka’bah, sehingga arah kiblat dapat ditentukan dengan mudah dan tanpa alat bantu canggih.
Menurut Kementerian Agama RI, waktu terjadinya Istiwa A‘zam pada 15 dan 16 Juli adalah pukul 16.27 WIB. Di saat itulah, masyarakat di wilayah Waktu Indonesia Barat dapat melakukan pengamatan langsung untuk mengkalibrasi arah kiblat2.
Dalam Islam, menghadap kiblat saat shalat adalah syarat sah ibadah. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 144: “Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 144)
Rasulullah SAW juga bersabda: “Jika kamu hendak shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke arah kiblat.” (HR. Muslim)
Fenomena ini bukan hanya soal astronomi, tetapi juga menyentuh aspek keimanan dan ketakwaan. Menjaga arah kiblat yang benar adalah bentuk ketaatan terhadap perintah Allah dan kesungguhan dalam menjalankan ibadah.
Bagi masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah WIB, momen ini sangat penting. Dengan hanya menggunakan benda tegak lurus seperti tongkat atau benang berbandul, dan memastikan permukaan datar, arah kiblat bisa ditentukan secara mandiri4.
Bayangan yang terbentuk saat matahari tepat di atas Ka’bah akan menunjuk ke arah berlawanan dari kiblat. Maka, arah kiblat adalah garis lurus dari pusat benda ke ujung bayangan yang terbentuk pada pukul 16.27 WIB.
Fenomena ini juga menjadi pengingat akan keteraturan ciptaan Allah. Matahari, sebagai salah satu tanda kebesaran-Nya, digunakan untuk membantu manusia dalam beribadah dengan lebih tepat dan khusyuk.
Dalam konteks Ramadhan, fenomena ini menjadi lebih bermakna. Ramadhan adalah bulan peningkatan ketakwaan, dan memastikan arah kiblat adalah bagian dari penyempurnaan ibadah yang dilakukan selama bulan suci.
Banyak umat Islam yang merasakan rindu akan kesempurnaan ibadah, terutama saat Ramadhan. Fenomena ini menjadi harapan untuk memperbaiki dan menyempurnakan arah kiblat yang mungkin selama ini kurang akurat.
Namun, ada juga kecemasan di kalangan masyarakat: apakah arah kiblat yang selama ini digunakan sudah benar? Fenomena Istiwa A‘zam hadir sebagai solusi praktis dan ilmiah untuk menjawab keraguan tersebut.
Kemenag menegaskan bahwa ketepatan waktu sangat krusial. Pengamatan harus dilakukan tepat pada pukul 16.27 WIB. Jam yang digunakan harus akurat, disesuaikan dengan waktu resmi seperti dari BMKG atau Telkom3.
Fenomena ini juga menjadi sarana edukatif dan spiritual. Umat Islam diajak untuk lebih mengenal ilmu falak, sekaligus memperkuat hubungan dengan Allah melalui ibadah yang lebih tepat dan penuh kesadaran. Akhirnya, Istiwa A‘zam bukan hanya tentang bayangan dan arah, tetapi tentang cinta kepada Allah, rindu akan kesempurnaan ibadah, dan harapan untuk menjadi hamba yang lebih taat dan bertakwa. Semoga kita semua dapat memanfaatkan momen ini dengan sebaik-baiknya.