Saat ini, negeri kita dihebohkan oleh viralnya pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi soal cadar dan celana cingkrang. Menteri yang baru beberapa hari dilantik ini mengeluarkan statemen yang menyulut reaksi beragam dari masyarakat. Tentu saja ada yang pro dan kontra. Bagi yang pro beranggapan bahwa apa yang dikemukakan pak menteri terkait dengan norma dan disiplin yang harus dipatuhi segenap Aparatur Sipil Negara (ASN) di berbagai lembaga pemerintahan.
Menurut Fachrul Razi, adalah menjadi kewajiban bagi setiap ASN untuk mematuhi aturan disiplin pegawai, termasuk di antaranya disiplin berpakaian. Di lingkungan Kementerian Agama sendiri terdapat aturan disiplin berpakaian yaitu pada hari Senin setiap ASN Kemenag wajib memakai pakaian kheki warna coklat, hari Selasa memakai atasan putih dan bawahan hitam, hari Rabu ditentukan jenis pakaian warna abu-abu khas Kemenag, pada hari Kamis memakai atas batik dan bawahan hitam, sedangkan pada hari Jumat menyesuaikan antara menggunakan batik atau pakaian olah raga.
Barangkali hal tersebut yang mendasari menteri dengan latar belakang jenderal ini menyampaikan statemen tentang penggunaan cadar dan celana cingkrang.
Berkembang pesat berbagai argumen dan pernyataan yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Di satu sisi bagi yang pro beranggapan bahwa memang seharusnya setiap ASN harus taat asas dan aturan yang diberlakukan bagi mereka. Meskipun kebebasan berpakaian merupakan ruang privat setiap orang, namun bagi mereka yang berprofesi sebagai ASN harus mau mengorbankan egonya untuk bercadar atau bercelana cingkrang demi mentaati peraturan yang berlaku. Toh, terkait penggunaan cadar dan celana cingkrang dalam pandangan agama masuk dalam bingkai khilafiyah (sesuatu perkara yang memiliki hukum bermacam-macam, tergantung pendapat imam atau panutan yang mereka ikuti). Artinya tidak ada ijma ulama yang mewajibkan bahwa seorang muslimah harus bercadar atau tidak. Demikian pula soal pemakaian celana cingkrang.
Sementara di sisi yang lain, bagi kelompok yang kontra menyatakan dengan keras bahwa wanita muslimah yang menutup tubuh mereka rapat-rapat hingga bercadar adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dilarang-larang oleh siapapun, termasuk oleh pemerintah. Mereka yang bercadar di antaranya beralasan bahwa dengan menggunakan cadar mereka merasa lebih aman, mantap melakukan sunnah. Sampai-sampai mereka merasakan bahwa sepanjang mereka bercadar, maka selama itu pula merasa teraliri pahala yang terus-menerus.
Menurut KH. Imam Nakha’i, seorang anggota Komnas Perempuan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh lembaganya bahwa pemakaian busana cadar memiliki berbagai motif, di antaranya : Pertama, seseorang yang awalnya punya orientasi seksual yang berbeda, lalu berbalik arah dan ingin bertaubat kemudian menutup dirinya dengan cadar. Tujuannya, disamping agar membuat dirinya dari teman-temannya tidak dikenali, juga karena atas dasar ideologis agamanya. Kedua, memakai cadar sebagai perlindungan dari segala kemungkinan gangguan dari laki-laki. Ketiga, perempuan bercadar dalam rangka mengelabui orang lain karena ia memiliki hutang kepada mereka. Sehingga agar tidak diketahui keberadaannya kemudian ditagih membayar hutang, maka mereka bercadar. Dan keempat, karena faktor idelogis. Faktor keempat ini, menurut Nakha’i terbelah menjadi dua. Satu kelompok yang meyakini kewajiban bercadar dan menganggap bahwa wanita lain yang tidak bercadar adalah berdosa dan tidak termasuk golongan mereka. Adapun kelompok kedua, mereka mantap dan merasa wajib bercadar, tetapi dengan keyakinan bahwa wanita lain yang tidak bercadar tidaklah berdosa. “Mestinya, pemerintah tidak perlu ikut campur dalam masalah penggunaan busana, karena hal tersebut merupakan domain ulama (agama)”, tandasnya.
Masih menurut alumni Ma’had Aly Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo ini, bahwa para imam madzhab yang empat, sebagai panutan mayoritas muslim negeri ini, berbeda pendapat soal penggunaan cadar ini. “Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam Hanafi menyatakan sunnah bercadar bagi muslimah. Itu karena mereka berkeyakinan bahwa wajah tidak termasuk aurat”, jelas Nakha’i. Ketiga imam ini sepakat bahwa seorang muslimah boleh menggunakan cadar atau tidak menggunakannya.
Sementara Imam Syafii beranggapan bahwa seluruh tubuh wanita termasuk wajah dan telapak tangan adalah aurat, kecuali di dalam sholat. “Makanya, beliau berpendapat bahwa menggunakan cadar adalah wajib. Tetapi kewajiban bercadar di sini adalah lebih disebabkan karena demi menjaga diri dari fitnah”, tambahnya.
Menurut hemat penulis, masalah pakaian apa yang harus dikenakan oleh seorang warga negara di negeri yang katanya “cuilan dari surga” ini, saking indahnya mestinya diserahkan kepada mereka yang mau memakainya. Termasuk memilih mau bercadar atau tidak. Sepanjang mereka berlaku sebagai warga negara yang baik dan taat hukum. Mari kita memberi ruang kepada alam pikiran kita agar lebih terbuka dan demokratis menerima perbedaan demi NKRI kita yang harga mati itu. (Nasiruddin)