ulan ini, Nopember bertepatan dengan Rabiul Awal. Bulan yang diyakini sebagai bulan lahirnya Rasul mulia, Nabi Muhammad saw. Di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia, umat Islam merayakannya. Berbagai macam umat Islam menyambut kelahiran sang nabi. Salah satunya dengan pembacaan kitab Maulid al Barzanji. Mereka membaca secara berjamaah selepas sholat berjamaah. Di sini, umumnya, dibaca sesudah sholat isya atau magrib. Selain itu sudah menjadi tradisi bahwa pembacaan maulid nabi dilakukan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 12 Rabiul Awal. Dan puncak acara pembacaan maulid adalah menyelenggarakan pengajian umum dengan menghadirkan seorang kiyai atau muballig untuk berceramah.
Yang mereka baca adalah riwayat kehidupan Rasulullah saw. Dalam kitab yang biasanya dibaca secara bergiliran di antara jamaah itu, menerangkan asal usul nabi sejak sebelum kanjeng nabi dilahirkan, pada saat dilahirkannya, dan setelah beliau dilahirkan. Dilengkapi pula dengan penjelasan bingkai-bingkai akhlak rasul yang mulia. Sehingga menjadi jelas bagi umat Islam, siapa dan bagaimana pola kehidupan Nabi Muhammad saw, sehingga mudah untuk diteladani.
Meneladani nabi dalam kehidupan setiap umat Islam adalah kewajiban. Seperti ditunjukkan oleh Allah dalam al Qur’an ; “Sungguh ada dalam diri Rasulullah adalah teladan yang baik bagi kalian”. Dengan demikian setiap muslim wajib mencontoh apapun yang menjadi sunnah nabi dalam kehidupan sehari-hari. Meniru sepak terjang beliau sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Dengan meneladani nabi dalam keseluruhan aspek kehidupan kita, akan menjadikan kita hidup menjadi “full sunnah”. Hal tersebut adalah suatu keniscayaan, mengingat setiap kita pasti menginginkan kehidupan yang selamat dan bahagia dunia sampai akhirat. Setiap kita penuh harap menjadi hamba yang dicintai dan diampuni oleh Allah SWT. Dan satu-satunya jalan untuk mencapainya adalah dengan mengikuti nabi dengan segala teladannya.
Hal tersebut tersurat dalam al Qur’an Surat Ali Imran ayat 31, Allah berfirman : “Katakanlah (Muhammad), “jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Dalam ayat ini dijelaskan bahwa ada dua keuntungan yang akan diperoleh seorang hamba jika mengikuti nabi. Yaitu menjadi hamba yang dicintai Allah dan mendapat pengampunan dariNya.
Lalu apa yang melatarbelakangi munculnya peringatan maulid nabi? Dalam hal ini banyak pakar telah mengemukakannya. Di antaranya sebagaimana dapat kita sarikan dari artikel yang dimuat dalam republika.co.id bahwa Maulid berasal dari bahasa Arab, yang berarti kelahiran. Beberapa negara Muslim memiliki istilah sendiri untuk menyebut perayaan ini. Di Arab perayaan Maulid Nabi dikenal dengan Eid al-Maulid an-Nabawi. Kaum Urdu menggunakan istilah Milad an-Nabi. Sedangkan di daerah Melayu, Maulid Nabi juga dikenal dengan Maulidur Rasul.
Perayaan Maulid Nabi SAW dalam sejarah Islam sudah berlangsung lama, sejak ribuan tahun lalu. Menurut AM Waskito dalam Pro dan Kontra Maulid Nabi, setidaknya ada tiga teori tentang asal mula perayaan Maulid Nabi. Pertama, perayaan maulid pertama kali diadakan oleh kalangan Dinasti Ubaid (Fathimi) di Mesir yang berhaluan Syiah Islamiliyah (Rafidhah). Mereka berkuasa di Mesir pada 362-567 Hijriyah atau sekitar abad keempat hingga keenam Hijriyah.
Mula-mula, dirayakan di era kepemimpinan Abu Tamim yang bergelar al-Mu'iz li Dinillah. Perayaan Maulid oleh Dinasti Ubaid hanya salah satu bentuk perayaan. Selain itu, mereka juga mengadakan perayaan hari Asyura, perayaan Maulid Ali, Maulid Hasan, Maulid Husain, Maulid Fathimah, dan lainnya.
Kedua, perayaan maulid di kalangan Ahlussunah wal jamaah (Aswaja) pertama kali diadakan oleh Sultan Abu Said Muzhaffar Kukabri, Gubernur Irbil di wilayah Irak. Beliau hidup pada 549-630 H. Diceritakan saat perayaan maulid diadakan, Mudzaffar Kukabri mengundang para ulama, ahli tasawuf, ahli ilmu, dan seluruh rakyatnya. Mereka menjamu mereka dengan hidangan makanan, memberikan hadiah, bersedekah kepada fakir miskin, dan lainnya.
Ketiga, perayaan maulid pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (567- 622 H), penguasa Dinasti Ayyubiyah. Tujuan beliau untuk meningkatkan semangat jihad kaum Muslimin dalam rangka menghadapi Perang Salib melawan kaum Salibis dari Eropa dan merebut Yerussalem dari tangan Kerajaan Salibis.
Beberapa teori sejarah di atas dapat disatukan tanpa harus mempertentangkannya. Awalnya, perayaan Maulid Nabi diadakan oleh Dinasti Ubaid di Mesir. Perayaan Maulid Nabi di sana hanya satu di antara sekian banyak perayaan yang mereka lakukan, untuk membangun pencitraan dan mendapat dukungan dari rakyat Mesir. Hal itu terpaksa dilakukan, karena sebelumnya Syiah Ubaidiyah telah dihancurkan oleh kaum Muslimin di Tunisia.
Lalu apa kaitan antara membaca maulid nabi dengan menjadi pengikutnya yang setia? Jelas ada korelasi yang sangat kuat. Sebab bagaimana mungkin kita bisa mengetahui pola kehidupan nabi kalau kita tidak membaca sejarah nabi. Bukankah ada pepatah “tak kenal maka tak sayang”. Di sinilah letak relevansi pembacaan sejarah atas diri nabi. Agar kita umat Islam dapat mengenal nabinya dengan baik. Dan setelah mengenalnya, kemudian kita bisa meniru dan meneladani setiap sunnahnya.
Masalahnya sekarang, apakah setiap orang yang telah membaca sejarah nabi lalu serta merta menjadi muslim yang baik? Inilah PR besar bagi umat Islam. sebab kita tidak boleh menutup mata atas kenyataan bahwa sepanjang sejarah umat Islam yang rajin, hampir setiap bulan Rabiul Awal membaca maulid nabi, ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan prilaku umat Islam itu sendiri.
Banyak kita temukan paradoksal di tengah umat. Bahwa mereka yang gemar bermaulid ternyata masih juga gemar menggunjing. Mereka yang rajin bersholawat tetapi mereka juga tidak rukun dengan sesama. Masih sering kita temukan, muslim yang tampaknya “sholih” namun mereka juga yang suka membuat gaduh di tengah umat. Hal ini bukan hanya dilakukan oknum individu muslim dalam strata umum, bahkan juga dilakukan oleh para oknum tokoh yang mestinya menjadi panutan umat.
Para ulama dan tokoh agama sudah seharusnya memberikan solusi guna memecahkan kontradiksi tersebut. Agar –terlepas dari hidayah Allah– setiap kali umat Islam membaca maulid maupun sholawat nabi terdapat atsar (bekas) dirinya. Tidak saja ia ahli maulid dan ahli sholawat, tetapi juga menjadi manusia peniru nabi yang handal dan militan. Sehingga tergolong orang yang dicintai dan diampuni oleh Allah SWT.
Beberapa solusi yang saya tawarkan. Mengingat kebanyakan jamaah yang mengikuti pembacaan maulid barzanji atau maulid diba’i adalah orang awam, hendaknya bagi para alim (kyai atau ustadz) juga memberikan makna atas apa yang mereka baca dalam kitab tersebut. Diharapkan dengan diartikannya kitab tersebut mampu memberikan pemahaman kepada jamaah atas isinya sehingga mudah dipahami dan diamalkan. Sudah barang tentu, harapan utamanya adalah sang tokoh telah terlebih dahulu memberikan contoh teladan bagi umatnya bagaimana ia meniru dan menduplikasi sifat dan sikap Rasulullah saw. Hal ini guna menghindarkan terjadinya “jarkoni” (bisa ujar tapi ora ngelakoni). Dengan memberikan teladan yang baik, bisa menjadikannya rule model yang nyata dan mantap di mata umat.
Dan pada gilirannya, akan dapat kita lihat jika gerakan meniru nabi ini menjadi global show di tengah umat, maka ekses positif alias atsar yang baik dalam pembacaan maulid akan dapat segera kita saksikan. Benar-benar nyatalah firman Allah dalam kitab sucinya bahwa umat Islam adalah umat terbaik yang dihadirkan Allah di muka bumi ini, dalam dunia nyata. (Nasiruddin – Penghulu)